Monday, September 25, 2017

Cerita saka Tegal


Halo! Wah, sudah cukup lama saya nggak menulis. Harus mulai dari mana, ya? Hehe. Katanya, kalau mau menulis, maka mulailah dengan apa yang ada di pikiranmu saat ini. Apa yang saya pikirkan sekarang? Well, agak blank sebenarnya karena kerjaan kantor agak senggang dan saya sedang agak bosan. Tapi, gimana kalau saya cerita tentang perjalanan sehari saya di Tegal minggu lalu? Tegal adalah salah satu kota dan kabupaten yang ada di Jawa Tengah. Letaknya di jalur pantai utara sering menjadi perantara bagi kendaraan-kendaraan yang akan menuju kota besar di Jawa Tengah seperti Semarang atau Solo, juga Yogyakarta.

Apa yang istimewa dengan Tegal? Tegal sering dihubungkan dengan warung makan di Jakarta, alias warteg—warung Tegal. Saking banyaknya masyarakat Tegal yang merantau ke Ibu Kota dan membuka usaha kuliner sehingga istilah warteg menjadi sebuah hal yang awam didengar. Menuju Tegal dari Jakarta, saya dan Wulan menggunakan jasa transportasi kereta api, yaitu Tegal Bahari dari Stasiun Gambir. Keberangkatan mengalami keterlambatan sekitar setengah jam dari jadwal, tapi sungguh tak mengapa karena kami mendapatkan tempat yang nyaman dengan harga tiket sekitar Rp125.000. 

Waktu tempuh dari Jakarta menuju Tegal adalah empat setengah jam, dan benar saja, dari pukul delapan malam lewat lima belas menit kami benar-benar meninggalkan Gambir, akhirnya kami tiba di Stasiun Tegal pukul satu pagi! Huh, terlalu awal memang, tapi kami berdua ini fakir cuti dan sangat terlalu niat untuk menghabiskan satu hari libur tanggal merah (21 September 2017—Tahun Baru Islam 1439 Hijriyah) di kota yang belum pernah kami kunjungi. Lalu, apa yang harus kami lakukan di waktu sedini itu, mengingat kami pun nggak memesan penginapan demi kepraktisan dan hemat biaya? Syukurlah, di stasiun itu ada satu tempat makan yang buka 24 jam yaitu Teh Jawa Cafe. Jadi daripada hanya duduk-duduk di peron dengan kursi yang sama sekali nggak empuk, pastinya kami memilih untuk beristirahat di sofa di Teh Jawa Cafe. Kami pun nggak perlu mengeluarkan banyak uang untuk hal ini, hanya membeli segelas cokelat hangat seharga Rp21.000 dan selanjutnya kami bebas menyelonjorkan kaki di sofa untuk mengistirahatkan badan sampai subuh.

Tunggu, bagaimana dengan itinerary alias susunan rencana perjalanan? Itinerary adalah hal yang sering saya agung-agungkan kala saya akan melakukan perjalanan ke suatu tempat baru. Bukan apa-apa, tapi itinerary sangat membantu kita untuk menghemat biaya dan menghindari kebingungan saat berada di kota atau negara baru. Tapi, makin ke sini saya makin abai dengan itinerary. Saya hanya perlu browsing di Internet info tempat menarik yang ada di kota yang akan saya kunjungi, dan selanjutnya ditentukan di hari H mau ke mana saja—tergantung juga pada kemudahan mengunjungi tempat tersebut. Saya dan Wulan, untungnya sepakat akan hal ini. Kami yang sama-sama pekerja kantoran dan seperti yang saya sebut tadi—fakir cuti, baru benar-benar menentukan tempat apa saja yang akan kami kunjungi, saat ada di dalam kereta.

Berwisata di Tegal, kami diarahkan ke wisata alam seperti pemandian air panas dan juga curug—kawasan air terjun. Tentunya kami ingin ke sana, tapi saat mengetahui bahwa tempatnya sangat jauh, lebih dari 25 km dari kota, maka kami mengurungkan dan coba mencari tempat lain yang lebih mudah dijangkau dari kota. Apakah kami menyesali hal tersebut? Jika dilihat dari hasil perjalanan kami yang bisa mengunjungi: Pantai Alam Indah, Taman Poci, Warung Makan Pa’In, Rumah Konsorsium Wayang Ki Enthus, Danau Cacaban, Rita Park, Alun-Alun Tegal, dan Pasar Senggol dalam sehari saja; tentu bisa kami katakan kami sama sekali tidak menyesal! Pun kuliner yang bisa kami nikmati dalam sehari, beberapa makanan khas Tegal seperti sate kambing muda, telur asin bakar, kupat glabed, dan soto tauco—oh, terasa lengkap juga wisata Tegal sehari ini. Masalah transportasi selama di kota Tegal, kami sangat terbantu dengan keberadaan GoCar dari GoJek yang selalu dapat diakses dengan mudah—kecuali saat kembali dari Danau Cacaban menuju jalan raya, kami harus menggunakan ojek lokal karena tidak tersentuh akses GoCar.

Pada akhirnya, tetap saya bisa menyimpulkan bahwa perjalanan bukanlah tentang kita bisa mengunjungi tempat-tempat yang direkomendasikan atau istilahnya ‘belum ke Tegal kalau belum ke Guci’, misalnya. Perjalanan bersifat personal, apa yang bisa kita nikmati dengan sederhana, meski itu tidak terlalu menjadi tujuan mainstream, tetaplah suatu hal yang patut dikenang. Jika ada kesempatan saya akan coba menguraikan satu per satu tempat yang kami kunjungi. Tapi untuk saat ini, demi melatih tangan yang kaku karena kelamaan tidak menulis, segini dulu cukup lha ya. :)