“Is it your first time here? You
will get lost...”
What? Ah, saya nggak terima dengan perkataan petugas tourist centre ini. Oh, lets back for a moment before. Rewind.... rewind....
Saya baru saja mendarat di Ninoy Aquino International Airport, Manila, dari kota Cebu. Waktu sudah beranjak malam, sekitar pukul setengah delapan. Saya berjalan menuju salah satu sudut yang bertuliskan tourist centre, hendak bertanya pada petugas di sana. Ada seorang pria yang yah, berwajah cukup tampan menurut saya.
“Excuse me, I want to ask, I want to go to Pablo Ocampo Street. Do you know how to get there?”
“Sure, you can take taxi,” jawabnya singkat.
“Can I take public transportation like MRT or Jeepney?” saya masih meminta informasinya.
“No,” dia menggeleng.
“Why? My friend said that I can take MRT.” Saya nggak membual, ini adalah hari ketiga saya di Filipina. Di hari pertama, saya sempat beberapa jam di Manila sebelum bertolak ke Cebu City, dan sempat ngobrol dengan orang Indonesia juga yang sepenerbangan dengan saya.
“Is it your first time here?” Dia balik bertanya, wajahnya tampak meragukan saya.
“Yes...” Saya menjawab dengan menggantung, tidak suka sebenarnya diremehkan seperti ini, tetapi kan saya memang memerlukan informasi detail untuk menuju hostel.
“You will get lost if you don’t take taxi.”
Saya menunjukkan raut muka kecewa dengan lebih terang-terangan karena perkataannya barusan. Saya mulai menyesal bertanya padanya.
“So I have to take taxi? My friend said that I can go there by MRT through Pedro Gil station. Ah, alright...” Saya siap berlalu.
“Hei, maam... You can take bus, HM Bus, ask the driver to take you to the MRT station, okay!”
Mungkin, dia merasa tidak enak juga setelah melihat saya kecewa, tapi ya sudahlah. Saya bergegas menuju bus putih yang akan membawa para penumpang ke pusat kota. Pilihan yang lebih terjangkau daripada taxi. Di hari pertama saya sudah mencoba menggunakan bus ini, yaitu ke Baclaran, dan di sana ada stasiun MRT. Jadi, tidak akan susah seharusnya. Rute yang sama, kan?
Tapi entah kenapa malam itu, bus tidak memenuhi harapan saya. Dia memang lewat di sebuah kawasan ramai dengan tulisan Baclaran di salah satu bangunan ruko. Tetapi, mana terminalnya? Mana kereta kota yang lewat di atas jembatan layang itu? Saya terus berjalan, mungkin, tidak akan jauh dari sini. Mungkin ini adalah sisi Baclaran yang lain dari yang saya singgahi dua hari lalu. Saya bertekad akan menemui stasiun MRT untuk menuju area hostel saya berada. Saya melangkah saja, menutupi hidung karena astaga... bau pesing sekali jalan raya di Manila ini! Mana kotor pula. Duh. Saya mencoba bertanya kepada polisi yang ada di situ, dia hanya menyuruh saya berjalan lurus untuk menemui stasiun MRT. Yang mana lurus itu ternyata jauuuh. Tanya polisi lain lagi, masih diminta berjalan lurus lagi. Saya mulai capek sebenarnya memanggul ransel seberat kira-kira tujuh kiloan ini. Tapi saya belum menemukannya juga. Saya berhenti sebentar, mencoba berpikir daripada hanya berjalan tak tentu arah. Menenangkan diri sebentar, melihat-lihat sekitar.... hei! Ada kereta melintas di atas sana!! Saya langsung semangat, berarti tak jauh lagi stasiun MRT-nya.
Phew! Saya mengembuskan napas lega ketika memasuki salah satu gerbong MRT. Saya menunggu-nunggu untuk dapat turun di stasiun Pedro Gil. Lho... lho... kok, lewat stasiun kereta ini? Saya membuka lagi peta MRT di handphone, mencoba mencocokkan. Astaga, ini line yang berbeda! Bagaimana ini?? Mau turun, tapi saya bingung. Saya memutuskan tetap berada di kereta. Saya memperhatikan ujung line ini menuju: North Ave Station. Nah di North Ave Station seharusnya saya bisa pindah ke line lain yang ke Pedro Gil, karena meski line-nya berbeda, tetapi muaranya toh sama-sama ke North Avenue Station. Saya bergeming saja di dalam kereta. Hingga akhirnya MRT berhenti di stasiun terakhir. Kiri-kanan saya mulai beranjak, keluar dari gerbong. Mau tak mau, saya pun keluar. Melihat ada seorang polisi, saya menghampirinya dan bertanya lagi.
“Sir, I’d like to go to the Pedro Gil. How?”
“Oh, you have to go to the Taft Ave.”
“But I just arrive from there!” Saya berseru, mulai hilang sabar. Tampak si polisi menundukkan kepala seperti menyayangkan sesuatu.
“You have to take the different line to go to Pedro Gil.”
“I can’t transfer here?”
“No, you can’t,” sesalnya. “You have to go back to Taft Ave and move to line 1, okay?”
Gila! Saya lemas dan kembali masuk gerbong kereta. Duduk di sana dengan pasrah. Saya kembali mengikuti kereta yang sama, tapi rute yang berkebalikan. Saat sudah tiba di Taft Ave, saya mencoba mencari line 1. Seseorang menegur saya, lagi-lagi polisi.
“Now is too night, the LRT only operate until 9.30 pm.”
Bagus! Saya menepuk jidat, lalu bertanya apa yang harus saya lakukan jika ingin menuju Pablo Ocampo Street. Dia menyarankan saya naik Jeepney di bawah. Saya menuruti. Tetapi setelah turun tangga stasiun MRT dan mendapati beberapa Jeepney, saya tidak menemukan nama jalan yang saya cari. Sang sopir pun bingung ketika ditanya.
Bahu mulai turun, saya lelah, saya tersesat, tepat seperti yang diramalkan oleh petugas bandara tadi. Padahal, saya sempat tersinggung dengan ucapannya. Dia tak tahu kalau saya sudah sering bertualang dengan cara ekonomis, masa gini aja nyasar? Itu ucapan saya tadi dalam hati saat dia meremehkan saya. Tapi toh ucapan dia ada benarnya. Dan sekarang sudah mendekati pukul sepuluh malam, nggak lucu kalau saya terus ada di jalan raya tak jelas seperti ini. Akhirnya, saya pun....
“Sir, can you take me to Pablo Ocampo Street, near Century Park Hotel?” Saya membuka pintu salah satu taxi yang terparkir di situ dan berbicara pada sang sopir.
Ya, saya sudah tak berpikir tentang persediaan uang yang semakin menipis, ini sudah malam, saya naik taxi juga akhirnya ke hostel.
And the best part is, meski saya sempat ketus karena menganggap pak sopir terlalu banyak bertanya dan tampak bingung dengan tujuan saya, tetapi dia tetap meladeni dengan ramah. Dia bahkan mengajak saya ngobrol, saya dari mana, berapa lama di Manila, dan mengajari sedikit bahasa Tagalog.
“So this is your hostel.” Kami berhenti di sebuah bangunan di seberang Hotel Century Park. The Buoy Hostel, tepat seperti nama yang tertulis di kertas yang saya pegang.
“Ah, thank you, Sir!” Saya berujar lega, terlebih ketika mendapati tarif taxi tidak terlalu mahal, sekitaran 80an peso.
“What’s your name?”
“Dini.”
“My name is Peter,” dia mengajak bersalaman, saya menyambut tangannya, “and I am your friend here.” Dia tersenyum, sangat, sangat, menenangkan.
Oh, leganya....
Welcome to Manila, Dini. :)
(based on my traveling at Oct 5th, 2013)
(based on my traveling at Oct 5th, 2013)