Ada yang ingat asal-usul terjadinya pelangi? Bagaimana mungkin
seusai hujan yang dimuntahkan awan lantas terbentuk lengkung serupa busur
terdiri atas tujuh warna? Tentu ada teori tentang terjadinya pelangi yang
berhasil dirumuskan oleh mereka yang pintar. Namun yang kuingat dari cerita
masa sekolah mingguku dulu, pelangi timbul pertama kali usai hujan berkepanjangan
yang menimpa dunia masa Nabi Nuh. Kala Sang Penguasa memilih untuk membentuk
ulang bumi ini dengan memusnahkan seluruh penghuninya, terkecuali orang-orang
pilihannya; keluarga Nabi Nuh beserta satwa sepasang dari tiap jenis. Lalu,
setelah hari yang ditentukan usai, Tuhan membuat tanda perjanjian bahwa
peristiwa serupa itu tak akan terjadi lagi. Dan materai perjanjian itu
diwujudkan lewat hal yang indah. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan
ungu. Pelangi.
Maka terciptalah suatu kebiasaan, bahwa sehabis hujan akan muncul
sebusur pelangi. Sayangnya, aku tak selalu beruntung. Sering, usai hujan, aku
akan terpaku menatapi sudut langit-langit—ya, seolah-olah langit memiliki sudut
saja—dan berharap akan dapat melihat warna-warna indah itu. Tidak, aku tak
selalu menjumpainya. Hingga aku lupa untuk mencarinya, dan terkadang tahu-tahu
dia menampakkan dirinya sendiri. Kadang kutatapi dengan takjub, kadang aku
memandang sambil lalu.
Hari itu, katakanlah, aku sedang beruntung. Bagaimana tidak, aku
dapat mencapai Selebes[1]
hanya dengan tiket penerbangan seharga kurang dari seratus lima puluh ribu
rupiah, pulang-pergi! Berkat merespons cepat pada penawaran promo sebuah
maskapai penerbangan yang baru membuka rute Jakarta-Makassar, aku
mendapatkannya. Cita-citaku untuk menjejak setiap pulau besar di negeri ini
terwujud selangkah lagi. Kalimantan sudah terwujud kala mengunjungi Balikpapan
di tahun 2012, lalu Sumatra di awal tahun 2013 dengan mengunjungi beberapa kota
di Provinsi Sumatra Barat. Dan kini, Juni 2013, Pulau Sulawesi akhirnya
kujumpai. Sebuah keberuntungan yang menuju pada keberuntungan lain. Menjumpainya.
:)
Ada beberapa tempat yang kusinggahi kala berada di ibu kota
Sulawesi Selatan. Dan salah satunya, adalah Fort Rotterdam. Kawasan bersejarah
yang namanya memiliki nuansa negara yang pernah menjajah Indonesia selama tiga
setengah abad. Menjumpai bangunan-bangunan tua sebagai salah satu warisan
sejarah Kesultanan Gowa, dengan area nan sejuk karena pepohonan yang menaungi.
Karena sendiri saja, maka aku memiliki waktu bebasku sendiri di sini. Asyik
memotreti bangunan-bangunan yang mengelilingiku, pun mengabadikan
tanaman-tanaman yang tertata asri. Saking asyiknya, hingga aku baru menyadari ada
tetesan tipis menghampiri ragaku. Hujan. Aku bergegas, berteduh di bawah atap
bangunan, di salah satu sudut. Aku melirik jam tangan sambil berharap hujan tak
akan terlalu deras dan tidak lama, karena aku memiliki janji bersama beberapa
kawan yang akan mengiringi perjalananku selama empat hari ke depan.
Dan sembari menunggu kepastian alam berpihak padaku, mataku
mengedari kawasan tua nan terawat ini. Sejarah berkaitan erat dengan kenangan.
Faktanya, benteng ini merupakan benteng paling megah di antara tujuh belas
benteng yang dimiliki Sultan Gowa pada abad ketujuh belas. Benteng yang
dibangun pada tahun 1545 ini pernah hancur karena penyerangan tentara Belanda.
Mereka yang menghancurkan, mereka pulalah yang membangunnya kembali. Makanya
namanya kemudian menjadi Fort Rotterdam. Pada awalnya, tentu tak begitu.
Benteng Jumpandang, demikian nama asli benteng ini kala dibangun pertama kali
oleh Kesultanan Gowa.
Selalu ada pengharapan usai keputusasaan. Selalu ada penghiburan
usai kedukaan. Dan aku tersenyum kala Tuhan mengabulkan harapku. Hujan berhenti,
karena ketika kutengadahkan tanganku untuk memastikan, rintik itu hampir tak
terasa. Merasa tak mau menyiakan waktu, aku kembali melangkah, kali ini lebih
masuk ke area belakang kawasan yang menjadi kebanggaan warga Makassar ini. Mungkin
karena jalanan aspal yang menanjak, atau beban yang ditanggung punggungku
karena menyangga ransel besar berukuran lima puluh liter; aku pun mulai
terengah. Dengan napas yang tak seprima sebelumnya, aku berhenti, melepas beban
itu dan membiarkannya di aspal, lalu kuletakkan tubuhku sendiri di sebuah
dudukan. Menengadah dan, Puji Tuhan, sungguh aku beruntung hari ini! Di sana
kulihat lengkung warna-warni itu. Meski tidak tebal benar penampakannya, tipis,
tapi cukup jelas terlihat. Hei, tak hanya doaku terkabul karena telah sampai di
pulau indah ini tanpa merogoh kantong terlalu dalam, juga cuaca yang
bersahabat, tetapi bonus yang ada jauh di atas kepalaku ini sungguh membuatku terhibur!
“Sungguhkah? Haa!”
Aku bergumam sendiri. Tak mengapa, karena tak ada pengunjung lain
di dekatku saat itu. Mataku terus kukedipkan, sekadar memastikan. Namun busur
warna-warni itu masih nyata di atas sana.
[Fort Rotterdam, Makassar, 05 Juni
2013]
Situs Taruhan Togel Online SGP HK Terpercaya 2020
ReplyDeleteBandar Togel Terbaik
Tafsir Angka Mimpi 2021 Terpercaya
ReplyDelete