Wednesday, January 18, 2012

Life Traveler - A Travelogue

Pernah nggak kamu aware sama orang-orang disekitarmu saat kamu lagi traveling ke Negara yang asing? Atau kamu cuma sibuk dengan rencana-rencana yang udah kamu susun dan memusatkan perhatian hanya pada obyek-obyek wisata yang kamu kunjungi ? Di buku ‘Life Traveler’ ini saya terbuai dan larut dengan penuturan Windy Ariestanty tentang pengalaman-pengalamannya saat berpetualang ke Negara asing. Bukan hanya penuturan tentang indah nya suatu Negara atau kota, melainkan pelajaran tentang hidup dari orang-orang yang dia temui. Membaur, itu kuncinya. Dengan membaur, Windy menjadikan dirinya bukan sebagai turis, melainkan sahabat baru bagi orang-orang yang dia temui di setiap Negara. Buku ini diawali dengan bab yang menceritakan persiapan Windy saat hendak melakukan long trip nya ke Negara-negara Indochina bersama beberapa kawan nya. Mulai dari antusiasme saat memperoleh tiket pesawat yang cukup murah, hingga keraguan saat hendak mengajukan cuti selama dua minggu. Pun proses mengepak baju dan perlengkapan traveling dia ceritakan dengan rinci tanpa menghilangkan unsur keindahan bertutur kata.

Perjalanan yang Windy ceritakan pertama kali adalah tentang Ha Noi, salah satu kota di Vietnam yang dijuluki ‘Kota Damai’. Ha Noi yang bak kota di masa silam, Ha Noi yang terik, Ha Noi yang damai ditengah kesemrawutan lalu lintas nya. Ada dialog yang menurut saya menarik tentang kebijakan lalu lintas di Vietnam yang memberlakukan batas maksimal laju kendaraan hanya 40km/jam, yaitu saat Windy iseng bertanya kepada salah satu pegawai, apakah supir bus yang akan mereka tumpangi bisa diminta untuk berkendara lebih cepat? Dan inilah jawaban pegawai tersebut yang membuat saya terpana : ‘Because this is a tourist bus. So you have to enjoy our country.’ Well yeah, benar juga. Salah satu tujuan traveling kan untuk menemukan dan menikmati hal-hal baru disekitar kita, so why bother to be hurry ? J

Buku ini berisi 18 cerita Windy saat melakukan perjalanan ke berbagai Negara, plus dua cerita dari dua sahabat Windy tentang perjalanan mereka. Dari 18 kisah yang disodorkan Windy, ada tiga yang saya ambil sebagai cerita favorite, tanpa mengecilkan makna dari 15 cerita lainnya, yaitu : ‘Ha Noi: The City Of Peace’; ‘ 10-10-10: Dalam sebuah Perjalanan Menuju Paris’; dan ‘Tentang Mereka yang Jatuh Cinta’. Oh yaa, ada satu bab berjudul ‘Bahasa Manusia’ yang membuat kita sadar bahwa bahasa yang berbeda bukanlah suatu halangan untuk berkomunikasi sesama traveler asing. Sebut saja kisah seorang Nenek Rusia yang nggak bisa berbahasa Inggris namun tetap bisa menikmati perjalanannya tanpa harus menjadi seorang yang hanya diam.

Anyway, saya akan sedikit cerita tentang efek yang diberikan setelah saya membaca buku ini. Jadi buku ini sengaja saya beli untuk menemani perjalanan saya di pesawat menuju Bangkok pada tanggal 14 Oktober 2011. Flight terlama yang pernah saya alami selama ini, yaitu Surabaya – Bangkok selama empat jam. Sepanjang membaca buku ini di pesawat, saya jadi kagum dengan Windy yang seolah begitu mudahnya menjalin komunikasi dengan orang asing. Well, I’m not that kind of person, saya yang dulu malah cenderung pemalu parah. Namun saat di tengah solo traveling saya di Bangkok, ada satu titik yang tahu-tahu saya menjadi begitu ‘gampang’ berkomunikasi dengan orang asing tanpa ada kecurigaan berlebih. Berawal dari disapa seorang pria asal Tibet di pasar Chatuchak dan berlanjut obrolan seru, iseng menyapa seorang pemuda Jerman saat di bus kota menuju hostel yang ternyata dia adalah dorm mate saya sendiri, sampai kemudian dipertemukan dengan dorm mate lain yang adalah solo traveler wanita Indonesia, dan kami bertiga –bareng si bule Jerman tadi- berbagi kisah seru masing-masing saat traveling. Perjalanan ke Bangkok itu adalah momen yang membuat saya sadar bahwa traveling itu nggak melulu tentang mencari tempat-tempat seru di suatu kota, tapi juga menjalin komunikasi dan berbagi cerita hidup dengan manusia-manusia baru disekitar kita, karena kita nggak pernah tahu kapan dan dimana kita akan dipertemukan dengan malaikat-malaikat penolong kita. Yap, secara nggak sadar kisah-kisah Windy memancing saya untuk menjadi lebih terbuka.

‘Kadang, kita menemukan rumah justru di tempat yang jauh dari rumah itu sendiri. And yes, wherever you feel peacefulness, you might call it home.’

‘Home is a place where you feel more comfortable. Home is a place where you can be and find yourself.’

‘Jangan pernah menjaminkan rasa kepada waktu. Ia punya masa kadaluwarsanya.’

‘Di antara keriaan, selalu ada cinta yang dirayakan dalam diam.’

‘The most important trip you may take in life is meeting people halfway (Henry Boye).’

Banyak sekali pelajaran hidup yang Windy petik dari manusia-manusia baru yang Ia temui, yang lantas Ia tuturkan dalam kalimat-kalimat yang quotable seperti diatas. Banyak juga tips-tips dan info yang Windy selipkan di setiap ceritanya saat mengunjungi suatu lokasi. Untuk merenung, untuk belajar, untuk panduan traveling, saya rasa buku ini buku yang lengkap. Salute, Windy ! J

~dinoy~

Info Buku

Judul Buku : Life Traveler

Genre : Non Fiksi, travelogue

Penulis : Windy Ariestanty

Penerbit : Gagas Media

Tahun Terbit : 2011

Harga : Rp 65.000